21 February 2005

Mentalitas "Blame the Victim"

Perempuan diperkosa?
  • Itu akibat emansipasi kebablasan, karena pakai baju merangsang.
Afrika kelaparan?
  • Itu akibat diam saja dibodohi pemerintahnya, mau-maunya tinggal di situ, tidak ada persiapan menghadapi paceklik.
Bencana tsunami?
  • Itu akibat wilayahnya jadi obyek wisata seks.
Kecopetan?
  • Jangan naik bis kota, jangan taruh dompet di saku celana, ....., jangan bertampang punya uang.
Istri dihajar suami?
  • Itulah kalau berani membantah, tidak taat, patuh dan nurut pada suami.
Irak diserbu Amerika?
  • Makanya jangan bilang punya senjata pemusnah massal kalau tidak punya. Kalaupun tidak punya, salah sendiri tinggal di gurun pasir yang di bawahnya ada cadangan minyak bumi besar-besaran.

Anda jadi korban? Anda salah karena Anda korbannya!

"Perhaps we can't see the victim as innocent, because by so doing we would have to admit that similar things might happen even to us. We blame the victim in order to feel more in control." Anyara

*Original Post

10 February 2005

Patah Hati Membawa Petaka

Ini bukan judul lagu ataupun cerpen remaja, tapi laporan riset "Broken Hearts Can Kill" oleh para peneliti di John Hopkins U.

A traumatic breakup, the death of loved one or even the shock of a surprise party can unleash a flood of stress hormones that can stun the heart, causing sudden, life-threatening heart spasms in otherwisehealthy people, they reported Wednesday.


"Patah hati" dapat mengakibatkan kelebihan hormon stres yang dapat mengejutkan jantung dan menyebabkan penyempitan koroner yang membahayakan pada orang yang sehat sekalipun.

Sebaiknya berhati-hati, dan kalau Anda patah hati, mending berdendang seperti Rahmat Kartolo (alm.), ".... patah hati ku jadinya ....." Terbukti penyanyi kita itu sehat wal afiat di tahun 60-an bahkan merilis ulang lagu hitnya puluhan tahun kemudian.

*Original Post

09 February 2005

Kurikulum Sex Ed: Survey Orang Tua di NC

Departemen Pendidikan dan Dept Kesehatan Negara Bagian North Carolina, AS, mewawancarai lebih dari 1300 orang tua siswa. Di antara temuannya, berikut ini adalah hal-hal yang diinginkan oleh orang tua untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan seks di sekolah:
  • Transmission and prevention of sexually transmitted diseases (98.5%)
  • Transmission and prevention of HIV/AIDS (98.4%)
  • What to do if one has been raped or sexually assaulted (98.2%)
  • Basics of reproduction, how babies are made, pregnancy and birth (98%)
  • Dealing with pressure to have sex (97.7%)
  • How to talk with a girlfriend, boyfriend or partner about not having sex (96.9%)
  • How to talk with parents about sex and relationship issues (96.7%)
  • How to deal with the emotional issues and consequences of being sexually active (93.9%)
  • How to talk with a girlfriend, boyfriend or partner about birth control and sexually transmitted diseases (92.9%)
  • Abstinence until marriage (91.2%)
  • Waiting to have sex until after graduating from high school (90.3%)
  • Effectiveness and failure rates of birth control methods, including condoms (88.9%)
  • How to get tested for HIV/AIDS and sexually transmitted diseases (88.3%)
  • Risks of oral sex (82.7%)
  • How to use other birth control methods, such as birth control pills or Depo Provera (80.8%)
  • Risks of anal sex (80.3%)
  • How to use condoms (80.1%)
  • Talking about what sexual orientation means (77.7%)
  • Where to get birth control, including condoms (73.9%)
  • Classroom demonstrations of how use a condom correctly (56.8%)
Selama ini pendidikan seks di NC hanya menitikberatkan pada "abstinence" (menghindari hubungan seks) sebelum nikah. Tarik ulur tengah terjadi seputar perlunya kurikulum diperluas dengan metode kontrasepsi dan pencegahan penyakit menular melalui hubungan seks.

*Original Post