27 September 2001

Berlomba dalam INTOLERANSI

Berita Edisi Pagi NPR (National Public Radio) 27 September 2001 sangat memprihatinkan saya. Isinya Kedutaan Amerika di Jakarta menghimbau warga Amerika untuk meninggalkan Indonesia disebabkan ancaman oleh sekelompok Islam militan.

Berbagai justifikasi dapat diberikan atas tindakan Islam militan (saya sangat tidak suka menggunakan istilah ini, ada alternatif?) ini. Bisa saja sebagai reaksi atas politik luar negeri Amerika dan rencana negara tersebut untuk menggempur sebuah negara muslim, Afganistan. Bisa pula sebagai tindakan balasan atas perlakuan sekelompok warga Amerika atas warga muslim/Arab di Amerika. Tetapi apakah tindakan balasan yang salah atas tindakan salah yang lain dapat dibenarkan?

Mengenai intoleransi sebagian orang Amerika (dan kebanyakan media massa) terhadap imigran muslim/Arab senantiasa menjadi topik panas di media dan forum diskusi. Tetapi yang sangat disayangkan, bahwa intoleransi yang dilakukan oleh "hanya sebagian" sering digeneralisir sebagai sikap umum masyarakat Amerika pada umumnya.

Kunjungilah situs www.soundvision.com. Survey membuktikan bahwa untuk setiap satu email bernada mengancam atau menghujat, ada lebih dari tiga email yang bernada simpati dan dukungan.

Di masjid lokal Raleigh, North Carolina, memang ketegangan mendominasi pada hari-hari pertama pasca tragedi. Sekolah Islam tutup, kegiatan selain salat Jumat dan salat 5 waktu ditiadakan. Adakah sesuatu hal yang buruk terjadi? Hanya ada beberapa telpon intimidasi dan selebihnya ratusan email, telpon dan faksimili memberikan dukungan dan simpati. Seorang ibu dari pelosok pegunungan di barat NC menelpon menyesalkan penutupan sekolah. Komunitas gereja di Durham menawarkan penggunaan gedungnya untuk menampung para siswa madrasah, lengkap dengan sekuritinya. Banyak ibu-ibu yang menawarkan diri menemani para muslimah berbelanja agar aman dari gangguan. Atasan kerja seorang pengurus masjid bahkan bersedia menjemput putri pengurus tersebut yang kuliah di perguruan tinggi yang jauhnya 120 km dari Raleigh.

Ada kisah menarik juga. Seorang warga Amerika berkulit putih, yang selama sebulan terakhir ini rajin datang ke masjid untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam, sewaktu datang ke masjid disambut dengan pandangan yang was-was dari muslim yang berada di situ. Baru setelah dia berucap, "Assalaam alaikum", ketegangan cair dari wajah para jamaah. Bisa ditambahkan pula, selama minggu pertama tersebut, bahkan tercatat dua orang muallaf mendapat hidayah dan bersyahadat di Masjid Raleigh.

Tugas berat bagi komunitas muslim Raleigh menunggu. Bukan lagi menghindari ancaman atau menyembunyikan diri berlindung di rumah, tetapi menjawab tantangan Islam menjadi fokus perhatian masyarakat luas. Tragedi tersebut justru membawa berkah tersendiri. Toko-toko buku diserbu orang-orang yang ingin tahu tentang Islam, dan utamanya tentang Jihad, yang sayangnya persediaan buku tentang Islam terbatas dan banyak ditulis oleh non-muslim. Untunglah media internet dapat membantu. Banyak permintaan dari masyarakat umum, gereja-gereja dan sekolah-sekolah pada pihak masjid untuk memberikan presentasi, bahan-bahan tulisan, sampai dengan Al-Quran. Sebelum ini sering kali pula undangan presentasi tentang Islam tidak dapat dipenuhi, sehingga pihak pengundang terpaksa menghadirkan non-muslim yang ahli tentang keislaman. Selain itu, semua ucapan simpati itu harus dibalas satu-persatu.

Pemerintah G.W. Bush telah beberapa kali melakukan pendekatan dengan kalangan Islam. Presiden AS mengecam tindak kriminal pada warga keturunan Arab, muslim, Asia Selatan, dan juga Sikh yang terkena getah kebencian sebagian orang.

Munculnya seruan "sweeping" warga Amerika sangat mengecewakan. Sayang sekali, saya belum mendengar ada sekelompok masyarakat atau organisasi di Indonesia yang memberikan simpati, dukungan atau perlindungan kepada warga asing yang terancam keselamatannya. Mana pula suara Pemerintah Megawati? Kejahatan atas dasar etnis, ras, agama (bahasa kunonya SARA) digolongkan "hate-crime" di Amerika, dan dapat dijatuhi hukuman setimpal. Sudah adakah pakar hukum di Indonesia menyatakan "sweeping" oleh sekelompok Islam militan ini merupakan "hate crime"?

Kita sudah kalah banyak dalam bidang ilmu dan teknologi, apakah kita akan kalah lagi dalam hal TOLERANSI?

*Original Post