18 October 2002

Putri Imam Abu Hanifah dan Poliandri

Dalam sebuah riwayat mengenai bagaimana Imam Abu Hanifah mendapatkan namanya (nama aslinya Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mah), ada kisah tentang mengapa seorang istri dilarang mengambil lebih dari seorang suami (poliandri).

'Abu Hanifah' bukanlah nama yang umum karena berarti 'ayah dari Hanifah' dan Hanifah adalah putrinya. Bukanlah suatu kebiasaan di jaman itu untuk menisbatkan seperti ini. Yang biasa, nama seseorang adalah 'ayah dari nama anak laki-laki.' Kisah terjadinya hal ini sangat menggelitik.

Suatu hari sang Imam besar mendapat sebuah pertanyaan yang, untuk pertama kalinya dalam karirnya yang gemilang, tidak dapat dijawabnya. Pertanyaan tersebut adalah, "Mengapa wanita dilarang menikahi lebih dari satu suami pada saat yang sama?"

Hanifah, putri sang Imam, bilang bahwa dia tahu jawabannya dan akan memberikannya jika ayahnya berjanji, kalau si putri berhasil memecahkan masalahnya, untuk menjamin baginya satu tempat dalam sejarah. Abu Hanifah setuju.

Lalu Hanifah mengumpulkan sekelompok wanita dan memberi mereka masing-masing sebuah cangkir. Kemudian dibawanya semangkok besar susu dan dimintanya tiap-tiap wanita itu mencelupkan cangkirnya dan mengisinya dengan susu. Mereka melakukannya.

Dia kemudian meminta para wanita untuk menuang kembali susu ke dalam mangkok. Mereka melakukannya juga. Dia lalu meminta mereka mengisi kembali cangkir-cangkir mereka hanya dengan susu yang mereka tuang kembali ke dalam mangkok. Tentu saja hal ini tidak mungkin.

Hanifah telah menunjukkan dengan jelas kesulitan yang bakal terjadi kalau seorang wanita memiliki beberapa suami. Dengan lebih dari satu suami, apabila hamil maka dia menghadapi kesulitan luar biasa menentukan siapa sebenarnya ayah di bayi. Identifikasi orang tua dan jalur keturunan akan menjadi masalah tak terpecahkan bagi keturunannya. Imam Abu Hanifah sangat puas dengan jawaban putrinya sehingga dia mengambil nama 'Abu Hanifah'. Dengan demikian sang putri mendapatkan tempatnya dalam sejarah.

Ketika membaca argumentasi Hanifah, saya juga berpikir bahwa jawabannya sudah out-of-date untuk ukuran jaman DNA ini. Apakah perlu diupdate? Sementara poligini sudah kehilangan justifikasi, masihkah perlu mencari-cari alasan pelarangan poliandri?

Saya justru lebih tertarik pada "keberanian" Imam Nu'man untuk mendapat gelar dengan nama putrinya ini. Barangkali juga sang Imam sangat bangga dengan kecerdasan putrinya, sehingga seakan-akan "ngalap berkah" membawa-bawa nama Hanifah.

Saya tidak tahu apakah ada pendahulu Imam Abu Hanifah yang memulai "revolusi" kun-yah (penamaan dengan nama anak laki-laki seperti Abu Ammar, Abu Daud, atau nama bapak seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas) dengan melakukan terobosan memakai nama anak perempuan?

Dalam album Haddad Alwi sedikitnya Rasulullah saw disebut dengan dua macam: Abu Qasim (nama anak laki-laki beliau yang meninggal waktu kecil) dan Abu Az-Zahra (gelar Fatimah). Yang kedua ini "revolusioner", tapi saya heran mengapa bukan Abu Zainab (putri sulung beliau), sehingga timbul "kecurigaan" bahwa syair lagu itu dikarang oleh para pecinta Ahlul Bait. Atau mungkin pula sekaligus revolusi kedua: yang dipakai tidak harus nama anak pertama?

btw, apakah Nabi Isa as bisa dikatakan melakukan "revolusi" lainnya? Soalnya beliau selalu disebut Ibnu Maryam. Selain itu belum pernah tahu ada yang mengikut nama ibunya.

Dalam tradisi Jawa keluarga saya, masih dikenal sistem "kun-yah" seperti ini. Ayah saya dijuluki Bapakne Erry (nama kakak saya, anak sulung) oleh nenek saya. Prinsipnya sama dengan masyarakat Arab, Pak-e Tole (bapak anak laki-laki) seperti Pak Unyil. Generasi saya mungkin sudah jarang sekali menggelari diri/digelari dengan Pak-e Tole begini. Kalau memang Halida nantinya secerdas putri sang Imam, tidak ada salahnya saya "ngalap berkah", menepuk dada "Ini lho bapaknya Halida" :-))

Tapi tunggu dulu, di mana tempat untuk anak-anak saya lainnya? Saya ingat ketika seorang Sahabat Rasulullah ingin menghadiahi salah satu anaknya lebih daripada anak-anaknya yang lain, beliau saw langsung melarangnya. Demikian pula, bagi saya tidak sepatutnya hanya nama salah satu anak disandang. Apalagi misalnya hanya anak laki-laki.

* Original Posting: [1], [2]

04 October 2002

Citra Islam

Pekan lalu di Republika ada tulisan Ade Armando berjudul "Mengubah Citra Islam." Isinya tentang berbagai tuduhan miring penginjil Pat Robertson dan tangkisan dari lembaga advokasi Islam di Amerika, CAIR. Sementara CAIR bekerja keras membela Islam yang dicitrakan penuh dengan kekerasan dan intoleransi, di tanah air berlangsung kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di Lombok.

Saya bukan hendak membahas tulisan Ade Armando, Pat Robertson, CAIR ataupun Ahmadiyah, tapi ingin memfokuskan pada "citra Islam" skala lokal.

Di masjid Raleigh, North Carolina, semenjak peristiwa 911 tahun lalu, marak diskusi di masjid membahas peristiwa itu, berlanjut dengan persoalan advokasi muslim yang mendapat intimidasi dan diskriminasi, memperkenalkan wajah Islam yang damai dan toleran, meningkatkan aktivitas kerja sama antar iman (inter faith), serta partisipasi muslim Amerika dalam bidang politik dan pemilihan umum. Sekilas tema-tema besar dan global yang asyik untuk diperbincangkan.

Komunitas muslim di sini cukup baik, rukun dan tidak mengalami intimidasi berarti seperti di beberapa tempat lain di Amerika. Perkembangan jumlah anggota komunitas ini juga tetap baik, secara rutin ada muallaf baru yang mengucapkah syahadatain, di samping masuknya para imigran muslim. Maka wajarlah kalau lama-kelamaan masjid yang didisain untuk menampung
600 orang ini kewalahan dengan tambahan anggota baru, terutama hari Jumat dan malam hari bulan Ramadan.

Pengembangan gedung masjid telah direncanakan, dan untuk itu ijin pengembangannya diajukan ke pemerintah kotapraja. Sesuai dengan prosedur, maka diadakan "hearing" antara pengurus masjid, pemerintah kotapraja, dan penduduk sekitar masjid. Di sinilah, di luar dugaan, di tengah-tengah kesibukan mempromosikan citra Islam, pengurus masjid terpaksa menelan pil pahit karena citra muslim di mata penduduk sekitar masjid.

Masalah utama adalah PARKIR. Di wilayah satu orang satu mobil seperti di sini bikin lapangan parkir seluas apapun, kalau saat jamaah mbludak di hari Jumat tetap saja mobil-mobil luber ke jalanan sekitar. Di sinilah ketidakdisiplinan dan ketidaksensitifan sebagian orang mulai meresahkan para tetangga. Sebagian jamaah seenaknya saja memarkir mobil di depan jalan keluar rumah orang, double parking, parkir di atas trotoar, bahkan yang lebih menyakitkan ada yang berkomentar tidak sedap pada empunya rumah ketika diingatkan. Ketika pengurus masjid berkilah bahwa mereka sudah berulang kali mengingatkan jamaah, dengan sinis seorang ibu sepuh mengatakan lihat saja orang-orang itu bahkan tidak mau mendengarkan pemimpin mereka. Duh sakitnya! Hari ini mereka menyumbat jalan keluar mobil tetangga, bukan tidak mungkin nanti mereka akan lebih kurang ajar lagi, demikian kira-kira di benak para penduduk sekitar. Mayoritas tetangga tidak setuju dengan rencana pengembangan masjid. Pemerintah kotapraja memberikan tenggat waktu 60 hari pada pengurus masjid untuk menertibkan jamaahnya dan akan mengadakan hearing lagi nantinya.

Di awal-awal penggunaan masjid, sering kali pengurus masjid mengingatkan soal parkir bahkah sudah menyiapkan mobil derek untuk memberi pelajaran pada jamaah "nakal." Sayangnya penegakan disiplin ini tidak kontinyu, lebih sibuk dengan diskusi topik-topik hangat. Bagaimana mungkin citra Islam akan meningkat kalau terhadap tetangga saja tidak menjaga akhlak? Pak khatib pun sibuk berkhotbah tentang menghormati tetangga, ayat dan hadis tentang perintah memuliakan tetangga pun berhamburan, akankah ada perubahan? 60 hari tidak lama, apalagi itu termasuk bulan Ramadan, ketika masjid dipenuhi jamaah setiap malam.

Mau mengubah citra Islam? Motto "think globally, act locally" perlu dicamkan. Sebelum muluk-muluk bicara Islam, perdamaian, toleransi, anti terorisme, mari dimulai dengan hal-hal esensial seperti menghormati tetangga.