22 November 2002

Berdirinya Masjid Kami

Artikel Khusus Bulan Ramadhan 1423 H
Milis keluarga Islami, Wanita Muslimah, MajelisMuda dan Ekonomi Islam

Masyarakat Muslim Raleigh, NC, circa 1998

Semenjak pertama kali datang ke kota Raleigh, North Carolina, lima tahun yang lalu, saya tinggal tidak jauh dari masjid Raleigh. Saat itu bangunan masjid menjadi satu dengan sekolah Islam untuk kelas 1 sampai dengan kelas 5. Ruangan masjid yang berada di lantai atas berkapasitas 300 orang itu mulai tidak mampu lagi menampung seluruh jamaah salat Jumat yang membludak lebih dari 600 orang. Jamaah meluber ke anak tangga, ke lantai bawah, sampai ke parkiran. Karena itu majlis syura segera merencanakan pendirian gedung masjid yang baru di lokasi samping gedung lama. Dengan mendirikan masjid baru, maka gedung masjid lama dapat digunakan oleh sekolah Islam yang akan membuka jenjang SMP (kelas 6-8). Tanah telah tersedia, cukup luas untuk gedung dan parkiran. Kini tinggal dana yang diperlukan sekitar satu setengah juta dolar. Memang tidak harus tersedia saat itu juga, tapi untuk langkah awal dibutuhkan segera 120 ribu dolar sebagai jaminan sesuai persyaratan pembangunan yang ditetapkan kotapraja Raleigh.

Anjuran Membangun Masjid

"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah ), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (Al-Baqarah (2):245)

Banyak juga ayat-ayat senada misalnya 2:261. Rasulullah sendiri mengiming-imingi umatnya untuk membangun masjid di dunia ini agar Allah membangunkan untuknya rumah di surga.

Ayat-ayat dan hadis-hadis anjuran ini disitir berulang-ulang oleh Imam al-Bainonie, imam masjid yang rutin memberikan khotbah Jumat. Menjelang penggalangan dana itu, praktis sebulan penuh empat kali jumatan beliau berkhotbah tentang perlunya membangun gedung masjid yang baru dan pahala orang yang membangun masjid.

Lomba "Pamer" Infak

Kebaikan bukanlah untuk dibanggakan agar dipuji orang. Tetapi tidak berarti kebaikan harus selalu disembunyikan, atau dilakukan sembunyi-sembunyi. Bahkan ada kalanya "pamer" itu perlu. Sahabat-sahabat Rasulullah saw termasuk golongan yang suka berlomba-lomba dan pamer kebaikan. Ketika masyarakat muslim Madinah memerlukan dana untuk jihad fii sabilillah, berbondong-bondong para sahabat menyumbang. Umar bin Khattab datang membawa separuh hartanya, sambil membayangkan, "Kali ini aku bakal lebih unggul daripada Abu Bakar." Tak dinyana Abu Bakar yang dermawan itu datang membawa seluruh hartanya untuk disumbangkan. "Apa yang kau sisakan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?" Rasulullah saw bertanya. "Cukuplah bagi kami Allah dan Rasul-Nya," ujar Abu Bakar dengan mantap.

Panitia masjid Raleigh mengingatkan jamaah akan riwayat tersebut, dan mulai menggalang dana secara terbuka pada hari Jumat, sebelum mulai khotbah Jumat. Modelnya mirip acara lelang. Dimulai dari "penawaran" tertinggi. "Siapa mau menyumbang 10 ribu dolar?" Beberapa tangan diacungkan. Panitia memberikan mereka secarik kertas untuk menuliskan nama, alamat, nomer telepon dan komitmen sumbangan mereka. Setelah itu penawaran diturunkan. "5000 dolar. Siapa bersedia?" Lebih banyak kali ini yang menyumbang. Kadang-kadang penyumbang diberi kesempatan untuk berbicara sepatah dua patah kata. Seorang mahasiswa dari Mesir berkata, "Saya ada 4000 dolar di tabungan. Saya sumbangkan 1000, dan sisanya untuk sekolah saya dan untuk keluarga." Seorang ayah menyumbang 1000 dolar lalu menanyai anaknya yang remaja berapa dia mampu menyumbang. Sang anak menjawab seketika akan menyumbangkan seluruh tabungannya yang beberapa ratus dolar itu. Seorang petugas kebersihan masjid, sambil bercerita tentang perlunya sekolah Islam untuk anak-anaknya, dia bersedia menyumbang rutin 50 dolar perbulan. Dalam tempo setengah jam terkumpul sumbangan (dalam bentuk pledge) lebih dari 80 ribu dolar. Selain itu beberapa orang lagi menambahkan di luar acara penggalangan dana terbuka ini sehingga kebutuhan 130 ribu dolar dapat dipenuhi.

Himbauan Anak

Di Jumat hari penggalangan dana itu saya hadir di masjid bersama anak saya, Dhea, yang belum genap usia dua tahun. Sementara mengamati para jamaah berlomba-lomba membuat komitmen sumbangan dari ratusan dollar hingga puluhan ribu, saya merasa bersyukur bahwa banyak muslim yang rizkinya berlebih walau terasa kikuk menyaksikan suasana mirip pasar lelang. Tiba-tiba Dhea bertanya, "Papa bawa dompet nggak?" Saya terkejut, anak saya yang baru menginjakkan kaki di Amerika belum setahun, bagaimana mungkin dia "mengerti" soal sumbang-menyumbang dalam bahasa Inggris ini. Saya bilang, "Iya, tapi nanti saja." Maksudnya saya mau menyumbang nanti saja seusai Jumatan dan langsung saya masukkan kotak dana. Sempat pula saya membatin, apa ada malaikat lewat membisiki anak saya agar "mengingatkan" bapaknya.

Selesai salat, saat keluar dari masjid, tidak lupa saya laksanakan himbauan Dhea, memasukkan sumbangan sesuai kemampuan ke keranjang sumbangan. Penasaran saya tanya Dhea, "Kenapa tadi Dhea tanya tentang dompet?" Dengan santai dia menjawab, "Mau lihat foto Dhea dan Mbak Happy." Foto waktu acara akikah Dhea itu memang selalu di dompet saya dan anak-anak selalu minta ditunjukkan kapan ada kesempatan. Ooo begitu.

Mari mendirikan masjid! Mari galang dana untuk masjid kita!

18 October 2002

Putri Imam Abu Hanifah dan Poliandri

Dalam sebuah riwayat mengenai bagaimana Imam Abu Hanifah mendapatkan namanya (nama aslinya Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mah), ada kisah tentang mengapa seorang istri dilarang mengambil lebih dari seorang suami (poliandri).

'Abu Hanifah' bukanlah nama yang umum karena berarti 'ayah dari Hanifah' dan Hanifah adalah putrinya. Bukanlah suatu kebiasaan di jaman itu untuk menisbatkan seperti ini. Yang biasa, nama seseorang adalah 'ayah dari nama anak laki-laki.' Kisah terjadinya hal ini sangat menggelitik.

Suatu hari sang Imam besar mendapat sebuah pertanyaan yang, untuk pertama kalinya dalam karirnya yang gemilang, tidak dapat dijawabnya. Pertanyaan tersebut adalah, "Mengapa wanita dilarang menikahi lebih dari satu suami pada saat yang sama?"

Hanifah, putri sang Imam, bilang bahwa dia tahu jawabannya dan akan memberikannya jika ayahnya berjanji, kalau si putri berhasil memecahkan masalahnya, untuk menjamin baginya satu tempat dalam sejarah. Abu Hanifah setuju.

Lalu Hanifah mengumpulkan sekelompok wanita dan memberi mereka masing-masing sebuah cangkir. Kemudian dibawanya semangkok besar susu dan dimintanya tiap-tiap wanita itu mencelupkan cangkirnya dan mengisinya dengan susu. Mereka melakukannya.

Dia kemudian meminta para wanita untuk menuang kembali susu ke dalam mangkok. Mereka melakukannya juga. Dia lalu meminta mereka mengisi kembali cangkir-cangkir mereka hanya dengan susu yang mereka tuang kembali ke dalam mangkok. Tentu saja hal ini tidak mungkin.

Hanifah telah menunjukkan dengan jelas kesulitan yang bakal terjadi kalau seorang wanita memiliki beberapa suami. Dengan lebih dari satu suami, apabila hamil maka dia menghadapi kesulitan luar biasa menentukan siapa sebenarnya ayah di bayi. Identifikasi orang tua dan jalur keturunan akan menjadi masalah tak terpecahkan bagi keturunannya. Imam Abu Hanifah sangat puas dengan jawaban putrinya sehingga dia mengambil nama 'Abu Hanifah'. Dengan demikian sang putri mendapatkan tempatnya dalam sejarah.

Ketika membaca argumentasi Hanifah, saya juga berpikir bahwa jawabannya sudah out-of-date untuk ukuran jaman DNA ini. Apakah perlu diupdate? Sementara poligini sudah kehilangan justifikasi, masihkah perlu mencari-cari alasan pelarangan poliandri?

Saya justru lebih tertarik pada "keberanian" Imam Nu'man untuk mendapat gelar dengan nama putrinya ini. Barangkali juga sang Imam sangat bangga dengan kecerdasan putrinya, sehingga seakan-akan "ngalap berkah" membawa-bawa nama Hanifah.

Saya tidak tahu apakah ada pendahulu Imam Abu Hanifah yang memulai "revolusi" kun-yah (penamaan dengan nama anak laki-laki seperti Abu Ammar, Abu Daud, atau nama bapak seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas) dengan melakukan terobosan memakai nama anak perempuan?

Dalam album Haddad Alwi sedikitnya Rasulullah saw disebut dengan dua macam: Abu Qasim (nama anak laki-laki beliau yang meninggal waktu kecil) dan Abu Az-Zahra (gelar Fatimah). Yang kedua ini "revolusioner", tapi saya heran mengapa bukan Abu Zainab (putri sulung beliau), sehingga timbul "kecurigaan" bahwa syair lagu itu dikarang oleh para pecinta Ahlul Bait. Atau mungkin pula sekaligus revolusi kedua: yang dipakai tidak harus nama anak pertama?

btw, apakah Nabi Isa as bisa dikatakan melakukan "revolusi" lainnya? Soalnya beliau selalu disebut Ibnu Maryam. Selain itu belum pernah tahu ada yang mengikut nama ibunya.

Dalam tradisi Jawa keluarga saya, masih dikenal sistem "kun-yah" seperti ini. Ayah saya dijuluki Bapakne Erry (nama kakak saya, anak sulung) oleh nenek saya. Prinsipnya sama dengan masyarakat Arab, Pak-e Tole (bapak anak laki-laki) seperti Pak Unyil. Generasi saya mungkin sudah jarang sekali menggelari diri/digelari dengan Pak-e Tole begini. Kalau memang Halida nantinya secerdas putri sang Imam, tidak ada salahnya saya "ngalap berkah", menepuk dada "Ini lho bapaknya Halida" :-))

Tapi tunggu dulu, di mana tempat untuk anak-anak saya lainnya? Saya ingat ketika seorang Sahabat Rasulullah ingin menghadiahi salah satu anaknya lebih daripada anak-anaknya yang lain, beliau saw langsung melarangnya. Demikian pula, bagi saya tidak sepatutnya hanya nama salah satu anak disandang. Apalagi misalnya hanya anak laki-laki.

* Original Posting: [1], [2]

04 October 2002

Citra Islam

Pekan lalu di Republika ada tulisan Ade Armando berjudul "Mengubah Citra Islam." Isinya tentang berbagai tuduhan miring penginjil Pat Robertson dan tangkisan dari lembaga advokasi Islam di Amerika, CAIR. Sementara CAIR bekerja keras membela Islam yang dicitrakan penuh dengan kekerasan dan intoleransi, di tanah air berlangsung kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di Lombok.

Saya bukan hendak membahas tulisan Ade Armando, Pat Robertson, CAIR ataupun Ahmadiyah, tapi ingin memfokuskan pada "citra Islam" skala lokal.

Di masjid Raleigh, North Carolina, semenjak peristiwa 911 tahun lalu, marak diskusi di masjid membahas peristiwa itu, berlanjut dengan persoalan advokasi muslim yang mendapat intimidasi dan diskriminasi, memperkenalkan wajah Islam yang damai dan toleran, meningkatkan aktivitas kerja sama antar iman (inter faith), serta partisipasi muslim Amerika dalam bidang politik dan pemilihan umum. Sekilas tema-tema besar dan global yang asyik untuk diperbincangkan.

Komunitas muslim di sini cukup baik, rukun dan tidak mengalami intimidasi berarti seperti di beberapa tempat lain di Amerika. Perkembangan jumlah anggota komunitas ini juga tetap baik, secara rutin ada muallaf baru yang mengucapkah syahadatain, di samping masuknya para imigran muslim. Maka wajarlah kalau lama-kelamaan masjid yang didisain untuk menampung
600 orang ini kewalahan dengan tambahan anggota baru, terutama hari Jumat dan malam hari bulan Ramadan.

Pengembangan gedung masjid telah direncanakan, dan untuk itu ijin pengembangannya diajukan ke pemerintah kotapraja. Sesuai dengan prosedur, maka diadakan "hearing" antara pengurus masjid, pemerintah kotapraja, dan penduduk sekitar masjid. Di sinilah, di luar dugaan, di tengah-tengah kesibukan mempromosikan citra Islam, pengurus masjid terpaksa menelan pil pahit karena citra muslim di mata penduduk sekitar masjid.

Masalah utama adalah PARKIR. Di wilayah satu orang satu mobil seperti di sini bikin lapangan parkir seluas apapun, kalau saat jamaah mbludak di hari Jumat tetap saja mobil-mobil luber ke jalanan sekitar. Di sinilah ketidakdisiplinan dan ketidaksensitifan sebagian orang mulai meresahkan para tetangga. Sebagian jamaah seenaknya saja memarkir mobil di depan jalan keluar rumah orang, double parking, parkir di atas trotoar, bahkan yang lebih menyakitkan ada yang berkomentar tidak sedap pada empunya rumah ketika diingatkan. Ketika pengurus masjid berkilah bahwa mereka sudah berulang kali mengingatkan jamaah, dengan sinis seorang ibu sepuh mengatakan lihat saja orang-orang itu bahkan tidak mau mendengarkan pemimpin mereka. Duh sakitnya! Hari ini mereka menyumbat jalan keluar mobil tetangga, bukan tidak mungkin nanti mereka akan lebih kurang ajar lagi, demikian kira-kira di benak para penduduk sekitar. Mayoritas tetangga tidak setuju dengan rencana pengembangan masjid. Pemerintah kotapraja memberikan tenggat waktu 60 hari pada pengurus masjid untuk menertibkan jamaahnya dan akan mengadakan hearing lagi nantinya.

Di awal-awal penggunaan masjid, sering kali pengurus masjid mengingatkan soal parkir bahkah sudah menyiapkan mobil derek untuk memberi pelajaran pada jamaah "nakal." Sayangnya penegakan disiplin ini tidak kontinyu, lebih sibuk dengan diskusi topik-topik hangat. Bagaimana mungkin citra Islam akan meningkat kalau terhadap tetangga saja tidak menjaga akhlak? Pak khatib pun sibuk berkhotbah tentang menghormati tetangga, ayat dan hadis tentang perintah memuliakan tetangga pun berhamburan, akankah ada perubahan? 60 hari tidak lama, apalagi itu termasuk bulan Ramadan, ketika masjid dipenuhi jamaah setiap malam.

Mau mengubah citra Islam? Motto "think globally, act locally" perlu dicamkan. Sebelum muluk-muluk bicara Islam, perdamaian, toleransi, anti terorisme, mari dimulai dengan hal-hal esensial seperti menghormati tetangga.

29 April 2002

Pak Puspo dan KH Achyari

Kisah Pak Puspo diketengahkan di milis ini. Alih-alih kisah itu menunjukkan "kesuksesan" dan sisi positif poligami, gerakan anti-poligami dengan mudah membidik titik lemahnya: istri-istri muda Pak Puspo masih perawan dan berusia jauh lebih muda daripada istri pertama.

Apa ada stok lain untuk pro-poligami? Ya tentu saja ada. Tinggal sebut teladan Rasulullah saw. Tapi kan beliau nabi, manusia sempurna dan maksum? Bagaimana dengan manusia biasa? Apakah sudah dikaji poin-poin permasalahan yang mencakup sisi teologis, ekonomi-sosial-psikologis dan evaluasi prakteknya seperti yang diajukan Mbak Mia?

Tapi "tidak semua laki-laki" (Basofi Sudirman 90-an) seperti Pak Puspo, pegawainya Kang He-Man, atau abang becak samping rumah Neng Yasmin.

Guru saya dan istri, KH Achyari (allahu yarham) adalah pelaku poligami yang berulang-ulang mengatakan dirinya tidak menyukai poligami. Dengan istri pertamanya beliau tidak dikaruniai keturunan. Setelah bertahun-tahun akhirnya beliau didesak-desak, desakan datang dari keluarga kedua belah pihak, untuk mengambil istri lagi. Untuk ukuran masyarakat Madura,apalagi seorang kyai, hal ini bukan hal yang aneh. Beliau tetap enggan, sampai akhirnya seorang sahabat karibnya meninggal dunia dengan meninggalkan istri dan dua orang anak. Janda sahabat karibnya inilah yang diperistri oleh Kyai Achyari. Takdir pula menentukan sampai akhir hayatnya Kyai Achyari tetap tidak memperoleh keturunan dari kedua istri.

Sekalipun sering mengatakan tidak suka poligami, tidak berarti KH Achyari merasa terpaksa menikah lagi ataupun menyia-nyiakan salah satu istrinya. Yang jelas tidak pernah sekalipun Pak Achyari menyarankan para santrinya untuk berpoligami. Tapi, "tidak semua laki-laki" seperti Kyai Achyari ....

Sebagai bonus ada tip dari Kyai Achyari untuk para suami:
"Kalau kamu ingin tahu kadar cintamu pada istrimu bertambah atau berkurang,pandanglah wajah istrimu waktu malam dia telah tidur. Kalau kamu rasa diasemakin cantik, berarti meningkatlah kadar cintamu."
Terima kasih Pak Kyai, semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunan kepadamu.

Original Post

14 March 2002

Gadis Afghan Ternama

Namanya Sharbat Gula. Dalam bahasa Pashto berarti "sweetwater flower girl." Dialah gadis Afghan paling terkenal seantero jagad, setelah wajahnya menghiasi sampul majalah National Geographic edisi 1985. Fotografer kondang Steve McCurry mengabadikan gambarnya pada tahun 1984, diambil di sebuah sekolah di kamp pengungsi di Pakistan. Itulah pertama kali dia dipotret. Tidak ada yang tahu persis usianya, walaupun diperkirakan sekitar 12-13 tahun. Lebih parah lagi, McCurry tidak sempat menanyakan namanya, dan McCurry sendiri tidak pernah menyangka foto tersebut bakal memikat hati jutaan manusia dan semakin melambungkan nama fotografer dan majalahnya. Jadilah pemilik wajah terkenal itu "tanpa nama."

Pose sang gadis sangat sederhana, dengan kerudung merah, dan nyaris tanpa ekspresi. Hal yang membuat orang tak pernah lupa adalah sepasang mata berwarna hijau. Tajam memandang, dan menceritakan seribu satu kisah tanpa perlu berkata-kata. Dalam waktu singkat, sang gadis menjadi simbol penderitaan pengungsi Afghan akibat perang dan pendudukan Uni Sovyet. Ribuan hati terketuk untuk turun tangan membantu meringankan penderitaan pengungsi, dan jutaan lainnya tidak dapat melupakan sorot mata hijaunya. Tetapi tiada seorang pun tahu siapa dia dan di mana dia.

Si "penemu" Steve McCurry berusaha mencari tahu keberadaan sang gadis. Tak terhitung berapa kali dia pulang balik ke Pakistan dan Afghanistan selama rentang waktu 17 tahun untuk menemukannya, tetapi berulang kali pula pulang dengan tangan hampa. Usaha tak kenal lelah McCurry dan tim National Geographic akhirnya membuahkan hasil. Awal tahun 2002 ini, mereka menemukan kembali sang gadis, yang kini tinggal bersama kerabatnya di kamp pengungsi Nasir Bagh di Pakistan. Kini sang gadis tidak lagi tanpa nama. Sharbat Gula tumbuh sebagai seorang wanita dewasa, telah menikah dan dikaruniai 4 putri, salah satunya meninggal ketika masih bayi. Dalam pertemuan ini, untuk kedua kali sepanjang hidupnya Sharbat dipotret. Sepasang mata hijau terus mengisahkan derita panjang, dan Sharbat juga memberikan wawancara kepada National Geographic, setelah mendapat persetujuan dari kerabatnya, -secara tradisi perempuan Afghan dilarang bertemu dan berbicara dengan orang asing.

Kisah penemuan Sharbat Gula, berikut foto-fotonya, dapat dibaca di sini.

Jumat malam ini di tv MSNBC akan ada acara khusus National Geographic Explorer tentang kisah Sharbat Gula. Demikian pula the National Geographic Channel akan melantunkan kisahnya malam-malam mendatang. Sedang edisi April majalah National Geographic menjanjikan kulit muka bergambar wanita Afghan mengenakan burka menutup sekujur tubuhnya, dengan tangan mempertunjukkan majalah tersebut edisi 1985 bersampul gadis Afghan bermata hijau. Judul kulit muka tersebut "Found - After 17 years, An Afghan Refugee's Story."

Sepanjang hidupnya telah banyak penderitaan dialami Sharbat Gula. Kehidupannya melambangkan kehidupan Afghanistan 20 tahun terakhir ini. Dia tidak tahu bahwa fotonya tersebar ke seluruh dunia, memikat jutaan pasang mata dan mengetuk hati ribuan relawan kemanusiaan. Keinginannya hanyalah agar putri-putrinya mendapatkan pendidikan yang tidak pernah dia dapatkan.

Semoga kebahagiaan tercurah atasmu, Sharbat dan Afghanistan.

*Original Posting