Pekan lalu di Republika ada tulisan Ade Armando berjudul "Mengubah Citra Islam." Isinya tentang berbagai tuduhan miring penginjil Pat Robertson dan tangkisan dari lembaga advokasi Islam di Amerika, CAIR. Sementara CAIR bekerja keras membela Islam yang dicitrakan penuh dengan kekerasan dan intoleransi, di tanah air berlangsung kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di Lombok.
Saya bukan hendak membahas tulisan Ade Armando, Pat Robertson, CAIR ataupun Ahmadiyah, tapi ingin memfokuskan pada "citra Islam" skala lokal.
Di masjid Raleigh, North Carolina, semenjak peristiwa 911 tahun lalu, marak diskusi di masjid membahas peristiwa itu, berlanjut dengan persoalan advokasi muslim yang mendapat intimidasi dan diskriminasi, memperkenalkan wajah Islam yang damai dan toleran, meningkatkan aktivitas kerja sama antar iman (inter faith), serta partisipasi muslim Amerika dalam bidang politik dan pemilihan umum. Sekilas tema-tema besar dan global yang asyik untuk diperbincangkan.
Komunitas muslim di sini cukup baik, rukun dan tidak mengalami intimidasi berarti seperti di beberapa tempat lain di Amerika. Perkembangan jumlah anggota komunitas ini juga tetap baik, secara rutin ada muallaf baru yang mengucapkah syahadatain, di samping masuknya para imigran muslim. Maka wajarlah kalau lama-kelamaan masjid yang didisain untuk menampung
600 orang ini kewalahan dengan tambahan anggota baru, terutama hari Jumat dan malam hari bulan Ramadan.
Pengembangan gedung masjid telah direncanakan, dan untuk itu ijin pengembangannya diajukan ke pemerintah kotapraja. Sesuai dengan prosedur, maka diadakan "hearing" antara pengurus masjid, pemerintah kotapraja, dan penduduk sekitar masjid. Di sinilah, di luar dugaan, di tengah-tengah kesibukan mempromosikan citra Islam, pengurus masjid terpaksa menelan pil pahit karena citra muslim di mata penduduk sekitar masjid.
Masalah utama adalah PARKIR. Di wilayah satu orang satu mobil seperti di sini bikin lapangan parkir seluas apapun, kalau saat jamaah mbludak di hari Jumat tetap saja mobil-mobil luber ke jalanan sekitar. Di sinilah ketidakdisiplinan dan ketidaksensitifan sebagian orang mulai meresahkan para tetangga. Sebagian jamaah seenaknya saja memarkir mobil di depan jalan keluar rumah orang, double parking, parkir di atas trotoar, bahkan yang lebih menyakitkan ada yang berkomentar tidak sedap pada empunya rumah ketika diingatkan. Ketika pengurus masjid berkilah bahwa mereka sudah berulang kali mengingatkan jamaah, dengan sinis seorang ibu sepuh mengatakan lihat saja orang-orang itu bahkan tidak mau mendengarkan pemimpin mereka. Duh sakitnya! Hari ini mereka menyumbat jalan keluar mobil tetangga, bukan tidak mungkin nanti mereka akan lebih kurang ajar lagi, demikian kira-kira di benak para penduduk sekitar. Mayoritas tetangga tidak setuju dengan rencana pengembangan masjid. Pemerintah kotapraja memberikan tenggat waktu 60 hari pada pengurus masjid untuk menertibkan jamaahnya dan akan mengadakan hearing lagi nantinya.
Di awal-awal penggunaan masjid, sering kali pengurus masjid mengingatkan soal parkir bahkah sudah menyiapkan mobil derek untuk memberi pelajaran pada jamaah "nakal." Sayangnya penegakan disiplin ini tidak kontinyu, lebih sibuk dengan diskusi topik-topik hangat. Bagaimana mungkin citra Islam akan meningkat kalau terhadap tetangga saja tidak menjaga akhlak? Pak khatib pun sibuk berkhotbah tentang menghormati tetangga, ayat dan hadis tentang perintah memuliakan tetangga pun berhamburan, akankah ada perubahan? 60 hari tidak lama, apalagi itu termasuk bulan Ramadan, ketika masjid dipenuhi jamaah setiap malam.
Mau mengubah citra Islam? Motto "think globally, act locally" perlu dicamkan. Sebelum muluk-muluk bicara Islam, perdamaian, toleransi, anti terorisme, mari dimulai dengan hal-hal esensial seperti menghormati tetangga.
Saya bukan hendak membahas tulisan Ade Armando, Pat Robertson, CAIR ataupun Ahmadiyah, tapi ingin memfokuskan pada "citra Islam" skala lokal.
Di masjid Raleigh, North Carolina, semenjak peristiwa 911 tahun lalu, marak diskusi di masjid membahas peristiwa itu, berlanjut dengan persoalan advokasi muslim yang mendapat intimidasi dan diskriminasi, memperkenalkan wajah Islam yang damai dan toleran, meningkatkan aktivitas kerja sama antar iman (inter faith), serta partisipasi muslim Amerika dalam bidang politik dan pemilihan umum. Sekilas tema-tema besar dan global yang asyik untuk diperbincangkan.
Komunitas muslim di sini cukup baik, rukun dan tidak mengalami intimidasi berarti seperti di beberapa tempat lain di Amerika. Perkembangan jumlah anggota komunitas ini juga tetap baik, secara rutin ada muallaf baru yang mengucapkah syahadatain, di samping masuknya para imigran muslim. Maka wajarlah kalau lama-kelamaan masjid yang didisain untuk menampung
600 orang ini kewalahan dengan tambahan anggota baru, terutama hari Jumat dan malam hari bulan Ramadan.
Pengembangan gedung masjid telah direncanakan, dan untuk itu ijin pengembangannya diajukan ke pemerintah kotapraja. Sesuai dengan prosedur, maka diadakan "hearing" antara pengurus masjid, pemerintah kotapraja, dan penduduk sekitar masjid. Di sinilah, di luar dugaan, di tengah-tengah kesibukan mempromosikan citra Islam, pengurus masjid terpaksa menelan pil pahit karena citra muslim di mata penduduk sekitar masjid.
Masalah utama adalah PARKIR. Di wilayah satu orang satu mobil seperti di sini bikin lapangan parkir seluas apapun, kalau saat jamaah mbludak di hari Jumat tetap saja mobil-mobil luber ke jalanan sekitar. Di sinilah ketidakdisiplinan dan ketidaksensitifan sebagian orang mulai meresahkan para tetangga. Sebagian jamaah seenaknya saja memarkir mobil di depan jalan keluar rumah orang, double parking, parkir di atas trotoar, bahkan yang lebih menyakitkan ada yang berkomentar tidak sedap pada empunya rumah ketika diingatkan. Ketika pengurus masjid berkilah bahwa mereka sudah berulang kali mengingatkan jamaah, dengan sinis seorang ibu sepuh mengatakan lihat saja orang-orang itu bahkan tidak mau mendengarkan pemimpin mereka. Duh sakitnya! Hari ini mereka menyumbat jalan keluar mobil tetangga, bukan tidak mungkin nanti mereka akan lebih kurang ajar lagi, demikian kira-kira di benak para penduduk sekitar. Mayoritas tetangga tidak setuju dengan rencana pengembangan masjid. Pemerintah kotapraja memberikan tenggat waktu 60 hari pada pengurus masjid untuk menertibkan jamaahnya dan akan mengadakan hearing lagi nantinya.
Di awal-awal penggunaan masjid, sering kali pengurus masjid mengingatkan soal parkir bahkah sudah menyiapkan mobil derek untuk memberi pelajaran pada jamaah "nakal." Sayangnya penegakan disiplin ini tidak kontinyu, lebih sibuk dengan diskusi topik-topik hangat. Bagaimana mungkin citra Islam akan meningkat kalau terhadap tetangga saja tidak menjaga akhlak? Pak khatib pun sibuk berkhotbah tentang menghormati tetangga, ayat dan hadis tentang perintah memuliakan tetangga pun berhamburan, akankah ada perubahan? 60 hari tidak lama, apalagi itu termasuk bulan Ramadan, ketika masjid dipenuhi jamaah setiap malam.
Mau mengubah citra Islam? Motto "think globally, act locally" perlu dicamkan. Sebelum muluk-muluk bicara Islam, perdamaian, toleransi, anti terorisme, mari dimulai dengan hal-hal esensial seperti menghormati tetangga.
No comments:
Post a Comment