Saya kutipkan tanggapan yang bernas dari milis:
Tujuan untuk kesejahteraan bersama kadang seolah tenggelam dalam keriuhan pergerakan feminis.
Sisi lain yang saya liat adalah feminist seperti makan buah khuldi, yaitu buah pengetahuan yang menghasilkan horizon baru sekaligus resiko-resikonya.
Mengutip artikel tsb - ini adalah hasil dari buah khuldi tsb: "It may be, too, that traditional marriage today is happier than it was, thanks to feminism"Generasi baru sering nggak menyadari, ada semacam diskontinuitas pemahaman pengalaman (sejarah) kita sendiri - yaitu bahwa generasi feminis sebelumnya telah membuka jalan bagi kita semua, yang tadinya nggak mungkin. Salah satu solusi mengatasi gap ini adalah dengan memupuk kesadaran dan pemahaman sejarah ini dalam kurikulum pendidikan kita di sekolah maupun suasana keluarga. Kita mesti cetak generasi yang bersyukur pada perjuangan-perjuangan orang tua dan senior kita sendiri.
Dan apakah resiko-resiko dari makan buah khuldi tsb? Mengutip lagi artikel tsb: "Having more choices about what you want makes you lesslikely to be happy with whatever choice you end up settling on."Artinya perempuan masih belum sepenuhnya adaptif dengan pilihan-pilihan tsb (do women know what they want?). Apa solusinya? Ada jawabannya di artikel tsb: "But it may be a bracing reminder thatworrying endlessly over choices isn't the path to greater freedom, equality, or happiness for women"Artinya, setelah perempuan membuat keputusan, kita kudu istiqamah dengan keputusan tsb, dan legowo dengan segala resikonya. Orang lain yang dekat dengan perempuan tsb semestinya memberikan dukungan. Don't worry, be happy.
Personal is political, kata feminist pada pergerakannya. Personal is personal, kata feminist kepada keluarganya. Kedua statement tersebut betul dan bijak pada tempatnya.
Salam
Mia
No comments:
Post a Comment