Dalam bukunya "And God Knows The Soldiers - the authoritative and authoritarian in Islamic discourses"(2001), Khaled Abou el Fadl (Profesor di UCLA) menyisipkan 19 halaman, diskusi tentang hijab. Judulnya: "Lecherous Suspicion: Do you dare question the hijab?" (Kecurigaan tak senonoh: Berani mempertanyakan hijab?)
Buku ini sendiri temanya adalah membahas masalah-masalah yang diperdebatkan dalam Islam, siapa yang berwenang, metodologinya, sampai bagaimana seseorang atau suatu pihak jatuh ke dalam tindakan "otoriter" dalam penentuan hukum.
Salah satu contoh kasusnya adalah "hijab" ini.
Karena 19 halaman itu panjang, mana catatan kakinya hampir sepanjang teksnya sendiri, saya tulis 6 poin Abou el Fadl saja:
1. Para fukaha masa awal tidak sepakat tentang pengertian "zinah" (perhiasan) yang diperintahkan untuk ditutupi. Ada yg berpendapat seluruh tubuh, termasuk rambut dan wajah, kecuali satu mata. Mayoritas berpendapat seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ada yang membolehkan menampakkan kaki dan tangan sampai ke siku.
2. Para fukaha berulangkali menyatakan ayat-ayat hijab diturunkan sbg tanggapan atas situasi yang sangat spesifik. Para pemuda berandalan sering mengganggu perempuan Madinah. Ketika ditanyai, mereka berdalih tidak mengira yang diganggu adalah muslimah merdeka dan mengira mereka adalah budak non-muslim (berarti tidak dalam perlindungan masyarakat muslim). Karenanya, ayat-ayat ini tampaknya dialamatkan pada dinamika sosial historis yang sangat khusus. Interaksi antara teks dan konteks sosialnya tidak mudah untuk diproyeksikan ke konteks lainnya.
3. Para fukaha dengan konsisten berargumen bahwa hukum2 yang mewajibkan menutup seluruh tubuh tidak diterapkan pada budak2 perempuan. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab melarang budak2 perempuan meniru perempuan merdeka menutupi rambut mereka. Tampaknya, para fukaha menyambungkan konteks historis ayat-ayat ini ke dalam penentuan hukum dengan tingkatan sosial yang khusus. Tetapi tidak jelas apakah tingkatan sosial yang dibicarakan al-Quran sama dengan tingkatan sosial yang didukung oleh para fukaha.
4. Para fukaha sering berpendapat bahwa apa-apa yang secara hukum boleh ditampakkan dari tubuh perempuan adalah yang biasa tampak menurut kebiasaan, sifat, dan kebutuhan. Dari sini, mereka berpendapat bahwa budak2 perempuan tidak perlu menutup rambut, wajah dan lengan, karena mereka adalah pelaku ekonomi aktif yang membutuhkan mobilitas, dan karena sifat dan kebiasaan, budak-budak perempuan biasanya tidak menutup bagian-bagian tubuh mereka ini. Ini menjadikan kebiasaan dan fungsionalitas sebagai titik fokus hukum. Ditarik ke jaman modern, perempuan hidup dalam kehidupan ekonomi aktif yang membutuhkan mobilitas, dan kebiasaan berubah-ubah sesuai dengan waktu dan tempat. Dengan kata lain, jika aturan-aturan tentang hijab dimandatkan berkaitan dengan tipe khusus kerusakan, dan budak2 perempuan dikecualikan karena sifat peranan dan fungsi sosial mereka, maka berarti aturan-aturan hijab bersifat bergantung dan kontekstual.
5. Beberapa riwayat menceritakan bahwa perempuan2 Madinah, muslim atau nonmuslim, biasa mengenakan penutup kepala panjang, mengenakan baju yang terbuka di depan yang menampakkan bagian dada. Diriwayatkan, praktek memperlihatkan dada ini adalah biasa hingga cukup lama masuk jaman Islam. Beberapa ulama masa awal menyatakan bahwa ayat-ayat al-Quran utamanya sasarannya memerintahkan para perempuan menutup dada mereka sampai ke bagian belahannya.
6. Ada keterputusan yang tajam antara ayat-ayat hijab dengan argumen fitnah (godaan seksual). Godaan dapat disebabkan oleh budak perempuan, atau dapat pula antara perempuan dan laki-laki, perempuan dan perempuan, atau antara sesama laki-laki (sebagaimana didiskusikan oleh Ibn Taimiyah dalam Tafsir al-Kabir). Seorang laki-laki dapat tergoda oleh budak perempuan, dan seorang perempuan dapat tergoda oleh seorang laki-laki tampan, tetapi baik budak perempuan maupun laki-laki tidak diperintahkan menutup rambut ataupun wajah. Apakah fakta bahwa seorang laki-laki dapat menimbulkan godaan pada perempuan mempengaruhi kewajiban menyembunyikan sebagaimana hal sebaliknya terhadap laki-laki?
*Original Post
Buku ini sendiri temanya adalah membahas masalah-masalah yang diperdebatkan dalam Islam, siapa yang berwenang, metodologinya, sampai bagaimana seseorang atau suatu pihak jatuh ke dalam tindakan "otoriter" dalam penentuan hukum.
Salah satu contoh kasusnya adalah "hijab" ini.
Karena 19 halaman itu panjang, mana catatan kakinya hampir sepanjang teksnya sendiri, saya tulis 6 poin Abou el Fadl saja:
1. Para fukaha masa awal tidak sepakat tentang pengertian "zinah" (perhiasan) yang diperintahkan untuk ditutupi. Ada yg berpendapat seluruh tubuh, termasuk rambut dan wajah, kecuali satu mata. Mayoritas berpendapat seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ada yang membolehkan menampakkan kaki dan tangan sampai ke siku.
2. Para fukaha berulangkali menyatakan ayat-ayat hijab diturunkan sbg tanggapan atas situasi yang sangat spesifik. Para pemuda berandalan sering mengganggu perempuan Madinah. Ketika ditanyai, mereka berdalih tidak mengira yang diganggu adalah muslimah merdeka dan mengira mereka adalah budak non-muslim (berarti tidak dalam perlindungan masyarakat muslim). Karenanya, ayat-ayat ini tampaknya dialamatkan pada dinamika sosial historis yang sangat khusus. Interaksi antara teks dan konteks sosialnya tidak mudah untuk diproyeksikan ke konteks lainnya.
3. Para fukaha dengan konsisten berargumen bahwa hukum2 yang mewajibkan menutup seluruh tubuh tidak diterapkan pada budak2 perempuan. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab melarang budak2 perempuan meniru perempuan merdeka menutupi rambut mereka. Tampaknya, para fukaha menyambungkan konteks historis ayat-ayat ini ke dalam penentuan hukum dengan tingkatan sosial yang khusus. Tetapi tidak jelas apakah tingkatan sosial yang dibicarakan al-Quran sama dengan tingkatan sosial yang didukung oleh para fukaha.
4. Para fukaha sering berpendapat bahwa apa-apa yang secara hukum boleh ditampakkan dari tubuh perempuan adalah yang biasa tampak menurut kebiasaan, sifat, dan kebutuhan. Dari sini, mereka berpendapat bahwa budak2 perempuan tidak perlu menutup rambut, wajah dan lengan, karena mereka adalah pelaku ekonomi aktif yang membutuhkan mobilitas, dan karena sifat dan kebiasaan, budak-budak perempuan biasanya tidak menutup bagian-bagian tubuh mereka ini. Ini menjadikan kebiasaan dan fungsionalitas sebagai titik fokus hukum. Ditarik ke jaman modern, perempuan hidup dalam kehidupan ekonomi aktif yang membutuhkan mobilitas, dan kebiasaan berubah-ubah sesuai dengan waktu dan tempat. Dengan kata lain, jika aturan-aturan tentang hijab dimandatkan berkaitan dengan tipe khusus kerusakan, dan budak2 perempuan dikecualikan karena sifat peranan dan fungsi sosial mereka, maka berarti aturan-aturan hijab bersifat bergantung dan kontekstual.
5. Beberapa riwayat menceritakan bahwa perempuan2 Madinah, muslim atau nonmuslim, biasa mengenakan penutup kepala panjang, mengenakan baju yang terbuka di depan yang menampakkan bagian dada. Diriwayatkan, praktek memperlihatkan dada ini adalah biasa hingga cukup lama masuk jaman Islam. Beberapa ulama masa awal menyatakan bahwa ayat-ayat al-Quran utamanya sasarannya memerintahkan para perempuan menutup dada mereka sampai ke bagian belahannya.
6. Ada keterputusan yang tajam antara ayat-ayat hijab dengan argumen fitnah (godaan seksual). Godaan dapat disebabkan oleh budak perempuan, atau dapat pula antara perempuan dan laki-laki, perempuan dan perempuan, atau antara sesama laki-laki (sebagaimana didiskusikan oleh Ibn Taimiyah dalam Tafsir al-Kabir). Seorang laki-laki dapat tergoda oleh budak perempuan, dan seorang perempuan dapat tergoda oleh seorang laki-laki tampan, tetapi baik budak perempuan maupun laki-laki tidak diperintahkan menutup rambut ataupun wajah. Apakah fakta bahwa seorang laki-laki dapat menimbulkan godaan pada perempuan mempengaruhi kewajiban menyembunyikan sebagaimana hal sebaliknya terhadap laki-laki?
*Original Post